Cerita Singkat SangPenari/Ronggeng Dukuh Paruk
Sang Penari merupakan film
yang terinspirasi dari novel karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh
Paruk. Film yang berlatar tahun 1960-an ini menceritakan kehidupan Srintil
sebagai ronggeng dengan dibumbui kisah asmaranya dengan Rasus.
Tak hanya kisah cinta,
cerita sejarah politik tahun 1960-an pun turut mewarnai film ini. Menjadi
seorang ronggeng adalah prestise tersendiri bagi wanita di sebuah desa kecil
bernama Dukuh Paruk karena tidak semua wanita yang bisa menjadi ronggeng di
desa itu .
Sejak kecil Srintil
mempunyai keinginan menjadi ronggeng. Dan Sebelumnya Dukuh Paruk kehilangan
ronggeng karena musibah keracunan yang menimpa desa mereka. Sang ronggeng dan
beberapa warga tewas setelah memakan tempe bongkrek buatan orang tua Srintil.
Setelah dewasa, Srintil (Prisia Nasution) makin berambisi untuk menjadi ronggeng di Dukuh Paruk. Sang kakek, Sakarya (Landung Simatupang) pun percaya bahwa cucunya ada titisan ronggeng. Namun, keinginan Srintil menjadi ronggeng rupanya tidak sejalan dengan Rasus (Oka Antara), kekasih Srintil.
Namun setelah melihat ambisi Srintil tersebut, Rasus pun memberikan keris kecil kepada Srintil, yang diambilnya dari ronggeng sebelumnya. Karena memiliki keris kecil tersebut, sang dukun ronggeng, Ki Kertareja (Slamet Rahardjo) dan warga percaya Srintil adalah titisan ronggeng.
Ternyata, ketika menjadi seorang ronggeng bukan hanya sekedar menari, namun Srintil juga menjadi “milik” warga Dukuh Paruk. Semenjak Srintil menjadi ronggeng, Rasus menjauh dan menghilang dari Srintil.
Rasus meninggalkan pekerjaan sebagai buruh tani dan pergi ke markas tentara. Sersan Slamet (Tio Pakusadewo) melihat potensi Rasus, dan menyetujuinya menjadi tentara. Setelah menjalani pelatihan, dirinya kemudian diangkat menjadi abdi negara.
Sementara itu, Dukuh Paruk pun kedatangan Bakar (Lukman Sardi) yang merupakan aktivis PKI. Dia memberikan berbagai fasilitas untuk warga desa dan menjanjikan kehidupan yang layak kep[ada warga dukuh paruk. Warga yang tidak bisa membaca dan menulis juga direkrut Bakar sebagai anggota dari PKI.
Akibatnya, hampir seluruh warga desa ditangkap tentara karena dianggap menjadi bagian dari partai komunis tersebut. Mereka dibawa ke ruangan gelap dan diinterogasi satu persatu.
Ketika Rasus kembali ke Dukuh Paruk, dirinya menyadari bahwa Srintil telah dibawa tentara. Tak tinggal diam, Rasus mencari tahu keberadaan Srintil. Pencarian Rasus mencari Srintil membuahkan hasil, sayangnya dia tak berhasil membawa Srintil keluar dari tempat penahanan.
Setelah dewasa, Srintil (Prisia Nasution) makin berambisi untuk menjadi ronggeng di Dukuh Paruk. Sang kakek, Sakarya (Landung Simatupang) pun percaya bahwa cucunya ada titisan ronggeng. Namun, keinginan Srintil menjadi ronggeng rupanya tidak sejalan dengan Rasus (Oka Antara), kekasih Srintil.
Namun setelah melihat ambisi Srintil tersebut, Rasus pun memberikan keris kecil kepada Srintil, yang diambilnya dari ronggeng sebelumnya. Karena memiliki keris kecil tersebut, sang dukun ronggeng, Ki Kertareja (Slamet Rahardjo) dan warga percaya Srintil adalah titisan ronggeng.
Ternyata, ketika menjadi seorang ronggeng bukan hanya sekedar menari, namun Srintil juga menjadi “milik” warga Dukuh Paruk. Semenjak Srintil menjadi ronggeng, Rasus menjauh dan menghilang dari Srintil.
Rasus meninggalkan pekerjaan sebagai buruh tani dan pergi ke markas tentara. Sersan Slamet (Tio Pakusadewo) melihat potensi Rasus, dan menyetujuinya menjadi tentara. Setelah menjalani pelatihan, dirinya kemudian diangkat menjadi abdi negara.
Sementara itu, Dukuh Paruk pun kedatangan Bakar (Lukman Sardi) yang merupakan aktivis PKI. Dia memberikan berbagai fasilitas untuk warga desa dan menjanjikan kehidupan yang layak kep[ada warga dukuh paruk. Warga yang tidak bisa membaca dan menulis juga direkrut Bakar sebagai anggota dari PKI.
Akibatnya, hampir seluruh warga desa ditangkap tentara karena dianggap menjadi bagian dari partai komunis tersebut. Mereka dibawa ke ruangan gelap dan diinterogasi satu persatu.
Ketika Rasus kembali ke Dukuh Paruk, dirinya menyadari bahwa Srintil telah dibawa tentara. Tak tinggal diam, Rasus mencari tahu keberadaan Srintil. Pencarian Rasus mencari Srintil membuahkan hasil, sayangnya dia tak berhasil membawa Srintil keluar dari tempat penahanan.
Manfaat
Film Sang Penari/ronggeng dukuh paruk bukan sekedar
mengangkat tema cinta, namun juga mengingatkan kita pada dilema antara
loyalitas kepada negara dan cinta kepada ronggeng di sebuah desa miskin di Indonesia.
Inspirasi
Film Sang Penari/Ronggeng Dukuh Paruk dari sebuah novel tersebut menumbuhkan
rasa Kecintaan kita pada kebudayaan yang kita miliki. Film ini pun menghidupkan
kembali batik sebagai kostum pemain, musik tradisional lokal termasuk
memperkenalkan batik kepada penonton nasional maupun internasional.
Kesimpulan
Film ini tidak sepenuhnya sama dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk. namun usia Srintil dalam novel digambarkan sekitar 12 tahun. Sedangkan dalam film usia Srintil jauh lebih dewasa.
Tak hanya itu, dalam novel pun tak segamblang dalam menceritakan penangkapan massal yang dilakukan tentara. Film produksi Salto Film juga menceritakan kepada masyarakat mengenai sisi lain dari sejarah dalam penumpasan PKI.
Warga desa yang tak bisa membaca-menulis menjadi korban dari partai komunis dalam penyebaran ideologinya, serta menjadi korban penangkapan massal oleh tentara.
Beberapa adegan dalam film arahan Ifa Isfansyah ini pun agak membuat penonton bertanya-tanya. Tak diceritakan bagaimana Srintil bisa lolos dari penangkapan yang dilakukan oleh tentara.
Tak jelas pula mengapa Srintil tiba-tiba terobsesi dengan bayi. Meski demikian, melalui film ini kita dapat melihat sejarah bangsa Indonesia di mana situasi politik pada tahun 1960-an sangat berpengaruh bagi berbagai sisi kehidupan masyarakat kecil, termasuk tradisi.
Film ini tidak sepenuhnya sama dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk. namun usia Srintil dalam novel digambarkan sekitar 12 tahun. Sedangkan dalam film usia Srintil jauh lebih dewasa.
Tak hanya itu, dalam novel pun tak segamblang dalam menceritakan penangkapan massal yang dilakukan tentara. Film produksi Salto Film juga menceritakan kepada masyarakat mengenai sisi lain dari sejarah dalam penumpasan PKI.
Warga desa yang tak bisa membaca-menulis menjadi korban dari partai komunis dalam penyebaran ideologinya, serta menjadi korban penangkapan massal oleh tentara.
Beberapa adegan dalam film arahan Ifa Isfansyah ini pun agak membuat penonton bertanya-tanya. Tak diceritakan bagaimana Srintil bisa lolos dari penangkapan yang dilakukan oleh tentara.
Tak jelas pula mengapa Srintil tiba-tiba terobsesi dengan bayi. Meski demikian, melalui film ini kita dapat melihat sejarah bangsa Indonesia di mana situasi politik pada tahun 1960-an sangat berpengaruh bagi berbagai sisi kehidupan masyarakat kecil, termasuk tradisi.
Nama : Agys Rianto
Nim :
12105520026
Fak/Jurusan :
Sospol/Administrasi Negara